Refleksi Politik dalam Politik Lokal di Indonesia

Pemasaran saat ini tidak hanya berbicara mengenai promosi barang atau jasa saja. Pemasaran tidak hanya berbicara iklan, atau sekedar penjualan. Di sektor bisnis ilmu pemasaran sudah sedemikian pesat berkembang, dari mulai elaborasi filosofis dari konsep pemasaran dan organisasional sampai dengan penemuan teknik-teknik pemasaran terkini.

Philip kotler on marketing mengatakan lebih penting melakukan sesuatu secara strategis daripada yang sesaat mendatangkan keuntungan. Konsep ini maksudnya bagaimana keuntungan jangka panjang yang akan kita peroleh ketika kita menyusun suatu perencanaan yang strategis terhadap barang atau jasa yang kita hasilkan. Tidak hanya sekedar menjual kemudian memperoleh keuntungan tetapi selain menjual dan memperoleh keuntungan, kita juga bisa mempertahankan konsumen.

Pada dasarnya political marketing adalah strategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih. Serangkain makna politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih menjadi oreantasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Makna politis inilah yang menjadi output penting political marketing yang menentukan pihak mana yang akan dicoblos oleh para pemilih.

Sejatinya marketing dan politik adalah dua disiplin ilmu yang bertolak-belakang. Rasionalitas marketing mengacu pada persaingan dengan tujuan memenangkannya secara efektif. Pada titik ini marketing menjadi media untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin. Sebaliknya rasionalitas politik bergerak pada tataran proses menciptakan tatanan masyarakat yang ideal melalui sistematisasi perebutan kekuasaan.

Kandidat sebagai Komoditi Politik

Komunikasi politik menurut Michael Rush dan Philip Althoff (2001:255) adalah suatu proses dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari satu bagian ke bagian yang lainnya, dan diantaranya sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Dalam pemilihan perlu diatur dengan peraturan perundang-undangan pemilihan umum yang di dalamnya paling tidak harus mengatur tiga hal pokok, antara lain:
1. Penyuaraan (balloting)
2. ‎Daerah pemilihan (electorate district)
3. ‎Formula pemilihan

Czudnowski dalam Riswanda Imawan (1988:42-43) mengemukakan tujuh variabel yang menentukan seseorang terpilih atau tidak terpilih dalam suatu pemilihan:
1. Social Baground
2. ‎Political Socialization
3. ‎Intial Political Activity
4. ‎Apprenticeship
5. ‎Occupational variables
6. ‎Motivations

Seorang kandidat partai politik yang ingin mengaplikasikan pemasaran politik secara efektif memerlukan sebuah riset. Disini riset (misalnya dalam bentuk polling), menjadi bahan dasar melakukan positioning sekaligus juga berfungsi untuk mengevaluasi pemasaran politik yang twlah dilakukan. Riset juga bisa dipahami sebagai upaya pemetaan kekuatan politik partai.

Figur yang merujuk pada kandidat eksekutif atau legeslatif yang akan dipilih dalam pemilu harus mempertimbangkan dari segi kualitas. Kualitas calon yang diajukan harus memperhatikan kualitas instrumental (kompetensi manajerial dan kompetensi fungsional), dimensi simbolis (prinsip-prinsip dasar yang dianut, aura emosional, aura sosial, dan aura inspirasional), fenotip optis (pesona fisik, kesehatan dan kebugaran, dan gaya penampilan).

Saat ini kandidat pada partai politik Indonesia cenderung lebih bersifat melebih-lebihkan yaitu dengan cara menuntut penggunaan teknik-teknik khusus untuk mengangkat popularitas dan mendongkrak citra kandidat. Teknik-teknik public relations sekaligus marketing dapat mengarahkan setiap kandidat untuk memiliki kemampuan seperti selebritis yang kehadiran serta berita yang menyangkut dirinya dinantikan oleh jutaan masyarakat dengan mendapatkan update information bagi pencerahan masa depan bangsa.

Faktor Patron Clien, Money Politic, dan Kartel Politik dalam Pemasaran Politik di Indonesia

Fenomena budaya politik patron klien tentu bukanlah sesuatu yang asing dalam perspektif politik kita, sebab kultur politik di Indonesia telah begitu kuat mengakar, sehingga sangat berpengaruh terhadap suatu proses demokratisasi. Pemilu langsung yang di mulai sejak tahun 2005 sebagian orang menganggap sebagai momentum terbesar yang di miliki oleh rakyat, karena proses politik ini berlangsung secara terbuka, langsung, bebas, jujur dan adil, walau dalam perjalanannya tidaklah sesuai dengan agenda-agenda reformasi politik. Hal ini tentunya karena budaya patron klien dimana kelompok atau individu punya ketergantungan secara politik kepada ornament atau tokoh tertentu, sehingga sangat bersifat feodalistik.

Pemilu Legislatif tanggal April 2014 telah diadakan, yang berarti menyisakan Pemliu Presiden bulan Juli dan September. Kedua pemilihan akan menentukan arah kebijakan yang diterapkan di Indonesia. Siapapun yang terpilih pasti memiliki visi dan misi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mulai dari pembangunan insfrastruktur, perbaikan tingkat pendidikan, mengurangi tingkat kemiskinan, dan lain-lain. Namun dengan melihat apa yang telah terjadi sebelumnya, indikator keberhasilan visi dan misi tersebut masih belum memuaskan dan tidak merata di Indonesia.

Desentralisasi yang muncul sebagai hasil dari tuntutan masyakarat yang memprotes kebijakan sentralistik era Orde Baru membuat daerah-daerah yang sekarang memiliki otonomi pemerintahan sendiri. Dengan adanya otonomi, pemerintah daerah memiliki hak untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing. Mungkin sekilas kebijakan ini baik karena pemerintahan daerah bukan lagi “perpanjangan tangan” dari kepentingan pemerintahan pusat (melaksanakan kepentingan yang dibuat oleh pemerintahan pusat di daerahnya).

Namun, otonomi daerah ini menimbulkan permasalahan pada penyalahgunaan kekuasaan apabila berjalan tanpa pengawasan yang ketat. Kasus yang muncul akibat gelombang desentralisasi ini adanya hubungan patron-klien yang berada di daerah-daerah.

James C. Scoot mengatakan, hubungan patron klien melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) mempergunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan dan/atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang lebih rendah (klien). Pada gilirannya, klien membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patron. (Scoot, 1993:7-8).

Dunia Digital dalam Pemasaran Politik di Indonesia

Ranah digital sekarang tak lagi dianggap sebagai aksesori, tetapi salah satu medan pertempuran utama yang harus dimenangkan oleh para kandidat dalam meraih suara. Harapannya, para generasi millenial atau kelas menengah yang ada di media sosial bisa menjadi influencer bagi para calon pemilih lainnya.

Hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dalam Pilkada DKI Jakarta yang menunjukkan elektabilitas salah satu kandidat Gubernur di Pilkada DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, semakin merosot karena sejak Maret 2016, terkesan menjadi musuh bersama (common enemy) di dunia maya.

Padahal, sebelumnya, sang petahana yang didukung Teman Ahok dimana didominasi oleh anak-anak muda dan kelas menengah Jakarta  berhasil mengumpulkan 1 juta KTP melalui kampanye di media sosial dan pembukaan booth di mal-mal Jakarta.

Khusus Pilkada DKI Jakarta, media sosial rasanya akan menyajikan pertempuran seru bagi aktivis digital marketing politik.

Fenomena dampak teknologi internet terhadap sikap politik masyarakat mempengaruhi para politisi di Indonesia, baik eksekutif ataupun legislatif. Mereka membuka komunikasi egaliter dengan para konstituennya. Tidak heran diantara mereka dapat meraih kemenangan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catur dan Investigasi Sosial A la Gondrong

Profilku

Gocekan A la Pemerintah Zaman Now